Jumat, 11 November 2016

ADAB-ADAB KEPADA ORANG KAFIR

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Allah Azza wa Jalla menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul dengan membawa agama yang haq, untuk membimbing manusia menuju cara beribadah yang benar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut para rasul itu sebagai orang-orang Muslim. Maknanya, orang yang menyerahkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah Azza wa Jalla. Itulah arti Islam secara umum. Yaitu semua agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul semenjak Nabi Nuh Alaihissallam sampai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun secara khusus, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Azza wa Jalla. Dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Azza wa Jalla menghapus seluruh agama dan syariat sebelumnya. Maka, orang yang mendapati agama ini, namun tidak memeluknya, maka dia kafir.

Agama Islam adalah agama yang haq dan adil, mengajarkan cara-cara bermuamalah dengan seluruh jenis manusia, termasuk mengajarkan sikap seorang Muslim kepada orang-orang kafir. 

Di sini kami akan menyampaikan beberapa adab kepada orang kafir. Penjelasan ini merujuk padas penjelasan Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dalam kitab Minhâjul Muslim, dan kitab-kitab ulama lainnya.

Seorang Muslim meyakini bahwa seluruh agama selain agama Islam itu batil dan pemeluknya kafir. Allah Ta’ala berfirman :

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﻋِﻨﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imrân/3: 19]

Dan firmanNya:

ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺒْﺘَﻎِ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺩِﻳﻨًﺎ ﻓَﻠَﻦ ﻳُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮِﻳﻦَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imrân/3: 85]

Juga firman-Nya:

ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲ ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [al-Mâidah/5: 3]
Adab kepada orang kafir

Dengan berita-berita dari Allah Azza wa Jalla ini, seorang Muslim mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah dihapus dan Islam menjadi agama semua manusia. Sehingga Allah tidak akan menerima agama kecuali Islam, juga tidak ridha dengan syariat selain syariat Islam. Dari sini seorang Muslim meyakini bahwa setiap orang yang tidak tunduk kepada Allah dengan menganut Islam, maka dia kafir yang harus disikapi dengan sikap yang telah ditentukan syariat. Di antaranya, sebagai berikut :

  • Tidak menyetujui keberadaannya di atas kekufuran dan tidak ridha terhadap kekufuran. Karena ridha terhadap kekufuran merupakan salah satu kekufuran.


  • Membenci orang kafir karena Allah Azza wa Jalla juga benci kepadanya. Karena dalam Islam, cinta itu karena Allah, begitu juga benci karena Allah. Oleh karena itu, selama Allah Azza wa Jalla membenci orang kafir karena kekufurannya, maka seorang Mukmin harus juga membenci orang kafir tersebut.



  • Tidak memberikan wala’ (kedekatan; loyalitas, kesetiaan) dan kecintaan kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :


ﻟَّﺎ ﻳَﺘَّﺨِﺬِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ

Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab; pemimpin; pelindung; penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. [Ali ‘Imrân/3: 28]

Dan firman-Nya:

ﻟَّﺎ ﺗَﺠِﺪُ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻳُﻮَﺍﺩُّﻭﻥَ ﻣَﻦْ ﺣَﺎﺩَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺁﺑَﺎﺀَﻫُﻢْ ﺃَﻭْ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻫُﻢْ ﺃَﻭْ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧَﻬُﻢْ ﺃَﻭْ ﻋَﺸِﻴﺮَﺗَﻬُﻢْ

Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang yang menentang itu asdalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. [al-Mujâdilah/58: 22]


  • Bersikap adil dan berbuat baik kepadanya, selama orang kafir tersebut bukan kafir muhârib (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin). Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :


ﻟَّﺎ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢ ﻣِّﻦ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-Mumtahanah/60: 8]

Ayat yang mulia lagi muhkam (ayat yang maknanya jelas-red) ini membolehkan bersikap adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir muhârib (orang-orang kafir yang memerangi umat Islam). Karena Islam memberikan sikap khusus terhadap orang-orang kafir muhârib.


  • Mengasihi orang kafir dengan kasih sayang yang bersifat umum. Seperti memberi makan jika dia lapar; memberi minum jika haus; mengobatinya jika sakit; menyelamatkannya dari kebinasaan; dan tidak mengganggunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


ﺍﺭْﺣَﻤُﻮﺍ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻳَﺮْﺣَﻤْﻜُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ

Kasihilah orang-orang yang berada di atas bumi, niscaya Dia (Allah) yang berada di atas langit akan mengasihi kamu. [HR. at-Tirmidzi, no. 1924]


  • Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatan, selama dia bukan kafir muhârib. Karena itu merupakan kezhaliman yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, berdasarkan hadits qudsi berikut ini :


ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺫَﺭٍّ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺭَﻭَﻯ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﺇِﻧِّﻲ ﺣَﺮَّﻣْﺖُ ﺍﻟﻈُّﻠْﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﻭَﺟَﻌَﻠْﺘُﻪُ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻈَﺎﻟَﻤُﻮﺍ

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah Tabâraka wa Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya sesuatu yang diharamkan di tengah kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi”. [HR. Muslim, no. 2577]


  • Boleh memberikan hadiah kepadanya dan boleh juga menerima hadiah darinya serta diperbolehkan memakan daging sembelihan ahli kitab. Allah Azza wa Jalla berfirman :


ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺣِﻞٌّ ﻟَّﻜُﻢْ

Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu. [al-Mâidah/5: 5]


  • Tidak boleh menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki kafir (walaupun lelaki ini Ahli kitab-pent). Dan laki-laki Muslim tidak boleh menikahi wanita kafir, kecuali wanita Ahli kitab.


Tentang larangan menikahkan wanita Muslimah dengan lelaki kafir, Allah Azza wa Jalla berfirman:

ﻟَﺎ ﻫُﻦَّ ﺣِﻞٌّ ﻟَّﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻫُﻢْ ﻳَﺤِﻠُّﻮﻥَ ﻟَﻬُﻦَّ

Mereka (perempuan-perempuan yang beriman) tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. [al-Mumtahanah/60: 10]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨﻜِﺤُﻮﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛَﺎﺕِ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳُﺆْﻣِﻦَّ ۚ ﻭَﻟَﺄَﻣَﺔٌ ﻣُّﺆْﻣِﻨَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻦ ﻣُّﺸْﺮِﻛَﺔٍ ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﻋْﺠَﺒَﺘْﻜُﻢْ ۗ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨﻜِﺤُﻮﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ۚ ﻭَﻟَﻌَﺒْﺪٌ ﻣُّﺆْﻣِﻦٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻦ ﻣُّﺸْﺮِﻙٍ ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﻋْﺠَﺒَﻜُﻢْ ۗ ﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ۖ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﻔِﺮَﺓِ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ۖ ﻭَﻳُﺒَﻴِّﻦُ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺘَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ

”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [al-Baqarah/2: 221]

Sedangkan tentang bolehnya menikahi wanita Ahli kitab, Allah Azza wa Jalla berfirman :

ﻭَﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕُ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺁﺗَﻴْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﺃُﺟُﻮﺭَﻫُﻦَّ ﻣُﺤْﺼِﻨِﻴﻦَ ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﺴَﺎﻓِﺤِﻴﻦَ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﺘَّﺨِﺬِﻱ ﺃَﺧْﺪَﺍﻥٍ

(Dan dihalalkan mangawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka, dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. [al-Mâidah/5: 5]


  • Tidak mendahului orang kafir dalam mengucap salam. Jika orang kafir tersebut mengucapkan salam terlebih dahulu, maka cukup dijawab dengan ”Wa ‘Alaikum”.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ

Jika salah seorang ahli kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah dengan ”Wa ‘Alaikum. [HR. Ibnu Mâjah, no. 3697; dishahîhkan oleh al-Albâni]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪَﺀُﻭﺍ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺑِﺎﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘُﻢْ ﺃَﺣَﺪَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﻃَﺮِﻳﻖٍ ﻓَﺎﺿْﻄَﺮُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺿْﻴَﻘِﻪِ

Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashâra. Dan jika kamu menemui salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah ia ke jalan yang paling sempit/pinggir. [HR. Muslim, no. 2167]

Dalam penjelasan tentang makna hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Para sahabat kami mengatakan, orang kafir dzimmi tidak dibiarkan berjalan di tengah jalan, namun dia didesak ke pinggirnya jika umat Islam melewati jalan tersebut. Namun jika jalan itu sepi, tidak berdesakan (di jalan itu) maka tidak mengapa”.


  • Kaum Muslimin harus menyelisihi orang kafir dan tidak boleh melakukan tasyabbuh (menyerupai) dengannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk mereka. [HR. Abu Dawud, no. 4031]

Tasyabbuh artinya menyerupai atau meniru. Tasyabbuh dengan orang kafir yang terlarang adalah meniru atau menyerupai orang kafir dalam masalah keyakinan, ibadah, kebiasaan, atau model-model perilaku yang merupakan ciri khas mereka. Demikian keterangan Syaikh Dr. Nâshir bin Abdul Karîm al-‘Aql dalam dalam kitab beliau : “Man Tasyabbaha Bi Qaumin Fahuwa Minhum”, hlm. 5.

Inilah beberapa adab berkaitan dengan orang-orang kafir. Lewat paparan singkat ini, kita dapat mengetahui sikap adil yang diajarkan agama Islam dalam menyikapi orang-orang kafir secara umum. Wallahu a’lam bisshawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Sumber almanhaj.or.id

Minggu, 06 November 2016

Beribadah Karena Mengharap Surga Merusak Keikhlasan??!!

Seseorang yang beramal karena surga maka ia adalah seorang yang beramal karena perut dan kemaluannya, seperti pekerja yang buruk. Dan derajatnya adalah derajat al-balah (orang dungu), dan sesungguhnya ia meraih surga dengan amalannya, karena kebanyakan penduduk surga adalah orang dungu. (Al Ghazali)


Ada beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang merusak keikhlasan, akan tetapi ternyata tidak merusak keikhlasan. Perkara-perkara tersebut adalah :


Pertama :

Beramal dalam rangka mencari surga.

Sabtu, 05 November 2016

Jangan sedih, Allah bersama kita !

Jangan sedih, Allah bersama kita !

(Menyikapi Penyerangan Koalisi Syi'ah & Komunis)
(Khutbah Jum'at Mesjid Nabawi 26/12/1436 H – 8/10/2015 M)
Asy-Syaikh Doktor Abdul Baari Ats-Tsubaiti hafizohullah

Khutbah Pertama:


Alhamdulillah segala puji bagi Allah semata, sholawat dan salam semoga tercurahkan peda nabi yang terakhir, dan kepada keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba'du.


Allah ta'aala telah menciptakan nenek moyang kita Adam 'alaihis salam, lalu setan pun memusuhinya dan berbuat makar kepadanya untuk menyesatkannya. Para rasul telah menghadapi berbagai macam makar dan tipu daya, diadakan konspirasi untuk mencelakakan para rasul.

Yusuf 'alaihis salam saudara-saudaranya telah berbuat makar kepadanya, maka iapun bersabar atas gangguan mereka. Maka Allah berfirman tentang Yusuf :

ﺇِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﻭَﻳَﺼْﺒِﺮْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﻀِﻴﻊُ ﺃَﺟْﺮَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ

Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS Yusuf : 90)

Nabi Ibrahim 'alaihis salam dikumpulkan kayu bakar dan dinyalakan api baginya, lalu beliau dilemparkan ke dalam api tersebut, maka jadilah api dingin dan keselamatan, dan hancurlah makar mereka sebagaimana firman Allah:

ﻭَﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺑِﻪِ ﻛَﻴْﺪًﺍ ﻓَﺠَﻌَﻠْﻨَﺎﻫُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺧْﺴَﺮِﻳﻦَ

Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi (QS Al-Anbiyaa' : 70)

Nabi Isa 'alaihis salam, kaumnya berbuat makar dan tipu daya kepadanya untuk membunuhnya dan menyalibnya, maka Allah pun menyelamatkan beliau dari kejahatan mereka.

Mereka berbuat makar kepada Nabi Musa 'alaihis salam, maka Allah berfirman :

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺻَﻨَﻌُﻮﺍ ﻛَﻴْﺪُ ﺳَﺎﺣِﺮٍ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻔْﻠِﺢُ ﺍﻟﺴَّﺎﺣِﺮُ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﺗَﻰ

"Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang" (QS Thoha : 69)

Dan pasukan Abrahah berbuat makar untuk menghancurkan Ka'bah maka Allah hancurkan makar mereka:

ﺃَﻟَﻢْ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻛَﻴْﺪَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺗَﻀْﻠِﻴﻞٍ ‏( 2 ‏) ﻭَﺃَﺭْﺳَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻃَﻴْﺮًﺍ ﺃَﺑَﺎﺑِﻴﻞَ ‏( 3 ‏) ﺗَﺮْﻣِﻴﻬِﻢْ ﺑِﺤِﺠَﺎﺭَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺳِﺠِّﻴﻞٍ ‏( 4 ‏) ﻓَﺠَﻌَﻠَﻬُﻢْ ﻛَﻌَﺼْﻒٍ ﻣَﺄْﻛُﻮﻝٍ ‏( 5 )

Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka´bah) itu sia-sia. Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (QS Al-Fiil : 2-5)

Para musuh bersekutu dan mereka berbuat makar kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi makar mereka hanyalah menuju kegagalan. Allah berfirman

ﻭَﻳَﻤْﻜُﺮُﻭﻥَ ﻭَﻳَﻤْﻜُﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻤَﺎﻛِﺮِﻳﻦَ

Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya (QS Al-Anfaal : 30)

Diantara sifat-sifat para pembuat makar adalah berkhianat dan melanggar janji. 


Pada peristiwa Bi'ir Ma'uunah telah terbunuh 70 orang dari sahabat terpilih, Allah berfirman :

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺨُﻮﻧُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺗَﺨُﻮﻧُﻮﺍ ﺃَﻣَﺎﻧَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS Al-Anfaal : 27)

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari sifat khianat, beliau berkata :

ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨِﻴَﺎﻧَﺔِ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺌْﺴَﺖِ ﺍﻟْﺒِﻄَﺎﻧَﺔُ

"Dan aku berlindung kepadaMu dari sifat khinat, karena ia adalah seburuk-buruk teman"

Orang-orang munafik dahulu adalah sumber utama makar yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena sikap-sikap mereka yang membunglon dan berubah-rubah kondisi mereka. Allah berfirman :

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘُﻮﺍ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺁﻣَﻨَّﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺧَﻠَﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺷَﻴَﺎﻃِﻴﻨِﻬِﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻧَّﺎ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻣُﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok" (QS Al-Baqoroh : 14)

Allah berfirman tentang kaum munafiqin

ﺃَﻭَﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻳُﺴِﺮُّﻭﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﻳُﻌْﻠِﻨُﻮﻥَ

Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan (QS Al-Baqoroh : 77)

Yaitu : Apakah mereka tidak tahu bahwasanya Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan berupa makar dan kekufuran dan apa yang mereka tampakan berupa keimanan dan sikap mencintai kaum muslimin?

Diantara sifat pelaku makar adalah muncul pada saat-saat ujian berat dan peristiwa-peristiwa genting, dan gembira dengan musibah yang menimpa kaum muslimin. 


Jika kaum muslimin memperoleh kemenangan dan kejayaan maka merekapun marah dan sedih. Jika kaum muslimin ditimpa bencana dan ujian maka para musuhpun mabuk saking gembira dan sombongnya.

ﺇِﻥْ ﺗَﻤْﺴَﺴْﻜُﻢْ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﺗَﺴُﺆْﻫُﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﺼِﺒْﻜُﻢْ ﺳَﻴِّﺌَﺔٌ ﻳَﻔْﺮَﺣُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ

Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. (QS Ali Imron : 120)

Diantara sifat para pembuat makar adalah memperbesar permasalahan dan mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran, lalu menyebarkannya, dan pura-pura tidak mengetahui prestasi-prestasi dan sisi-sisi positif. 


Dan inilah kebiasaan mereka yang tukang dengki dan hasad.

Diantara bentuk makar adalah menjadikan para pemuda sebagai target untuk disesatkan melalui perkataan, foto/video, dan pengaruh pemikiran melalui media-media sosial dan sarana komunikasi modern, dan ini lebih berbahaya daripada para pasukan yang menyikat dan senjata yang mematikan. 


Yaitu dengan menyebarkan pemikiran ekstrem dan menyimpang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang berbahaya, menguasai otak-otak para pemuda dan untuk menjauhkan mereka dari para ulama sehingga mudah untuk dijerat dan mempengaruhi mereka. Yang hal ini disebarkan oleh orang-orang yang tidak dikenal dengan ilmu dan amal.

Diantara kegiatan para pendengki dan penghasad adalah menanamkan organisasi-organisasi teroris di negeri-negeri kaum muslimin, agar menjadi bahan bakar untuk membakar para pemuda, dan menghancurkan masa depan mereka dan negeri mereka.


Diantara metode makar adalah menggambarkan agama ini seakan-akan adalah agama yang terbelakang dan penuh kekacauan, amburadul dan mengerikan, yaitu dengan menampilkan klip-klip berdarah dan pelaksanaan penculikan yang dilakukan oleh orang-orang (sesat) yang menyelip di barisan kaum muslimin dan berpenampilan dengan penampilannya agama.


Diantara bentuk makar adalah membuat-buat berita dusta dan menyebarkan isu-isu yang bertujuan buruk. 


Dan telah datang ayat-ayat yang jelas yang memperingatkan agar tidak ikut menjadi penyebar berita dusta tersebut, dan arahan untuk benar dalam perkataan dan tidak menyampaikan semua berita secara sembarangan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dan tanpa hikmah dan penjelasan.

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﻗَﻮْﻟًﺎ ﺳَﺪِﻳﺪًﺍ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzaab : 70)

Al-Qur'an membimbing untuk meluruskan perkataan, dan hati-hati dalam berucap, serta mempelajari tujuan ucapan dan arahannya sebelum mengikuti orang-orang munafik dan pembuat onar. Al-Qur'an membimbing untuk mengucapkan perkataan yang baik yang mengantarkan kepada amal shalih.

Diantara bentuk makar adalah menyebarkan keraguan di kaum muslimin terhadap pemimpin mereka dan pemerintah mereka dengan memalsukan hakekat yang sebenarnya. 


Dan diantara bentuk konspirasi adalah mengeluarkan fatwa-fatwa syubhat dan fitnah, hal ini mengantarkan pada tersebarnya kebatilan serta menghiasinya dengan pakaian kebatilan. Yang sungguh menakjubkan adalah fatwa-fatwa asing malah tersebar di zaman kita, sehingga menimbulkan kerancuan bagi masyarakat, dan orang-orang yang suka dengan pendapat-pendapat yang aneh segera berlomba-lomba dalam menyebarkannya. Hal ini menimbulkan dampak negatif dan kemudhorotan yang besar pada umat ini.

Diantara metode konspirasi (keburukan) adalah menghalangi kebenaran, yaitu dengan mengobarkan syahwat dan nafsu serta menenggelamkan para pemuda dalam lautan narkoba.

Diantara kegiatan para tukang makar adalah mengobarkan kekacauan, ketidakstabilan, dan fitnah, memecahkan barisan kaum muslimin, menimbulkan kondisi krisis agar menghentikan gerakan pembangunan, pengembangan, dan produksi di negeri-negeri kaum muslimin, sehingga kaum muslimin akhirnya terfokus kepada cara mencari solusi menghadapi fitnah dan usaha untu memadamkan api fitnahnya.


Diantara bentuk makar para pembuat makar adalah membentuk kegaduhan dengan menyebarkan rasa pesimis dan kerendahan serta jiwa yang jatuh dan kalah. Allah berfirman :


ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻗَﺪْ ﺟَﻤَﻌُﻮﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺎﺧْﺸَﻮْﻫُﻢْ ﻓَﺰَﺍﺩَﻫُﻢْ ﺇِﻳﻤَﺎﻧًﺎ ﻭَﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺣَﺴْﺒُﻨَﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟْﻮَﻛِﻴﻞُ

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung" (QS Ali 'Imron : 173)

(Hasbunallah wa nikmal wakiil)…ini adalah benteng perlindungan yang kokoh sebagai tempat berlindung kaum mukminin tatkala diliputi oleh berbagai musibah dan ujian. Bagaimanapun berat perkaranya maka hal ini tidaklah menambah bagi kaum mukminin kecuali semakin kokoh, semakin beriman, dan semakin pasrah kepada Allah.
Sejarah mulia dari umat ini mendorong nilai optimis, dan ia adalah sejarah kejayaan dan kepemimpinan, penuh kepercayaan bahwasanya Allah akan membalas mereka yang berbuat zolim dan melampaui batas. Allah berfirman

ﺇِﻥَّ ﺑَﻄْﺶَ ﺭَﺑِّﻚَ ﻟَﺸَﺪِﻳﺪٌ ‏( 12 ‏) ﺇِﻧَّﻪُ ﻫُﻮَ ﻳُﺒْﺪِﺉُ ﻭَﻳُﻌِﻴﺪُ ‏( 13 )

Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras. Sesungguhnya Dialah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali) (QS Al-Buruuj : 12-13)

Kita berhusnudzon (berprasangka baik) kepara Robb kita, kita meyakini akan keadilaNya, sesungguhnya Allah penolong wali-waliNya, menghancurkan musuh-musuhNya. Allah berfirman :

ﻭَﻟَﻤَّﺎ ﺭَﺃَﻯ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺍﻟْﺄَﺣْﺰَﺍﺏَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻭَﻋَﺪَﻧَﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﻭَﺻَﺪَﻕَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﺯَﺍﺩَﻫُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﺇِﻳﻤَﺎﻧًﺎ ﻭَﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ

Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (QS Al-Ahzaab : 22)

Khutbah Kedua ;


Diantara penjagaan Allah kepada kebenaran dan pembela kebenaran adalah hancur leburnya seluruh model makar dan tipu daya di atas batu ketegaran umat ini yang memikul warisan kenabian. Meskipun umat ini lemah pada suatu zaman akan tetapi dominasi dan kemenangan adalah milik umat ini, kejayaan dan kekuasaan adalah kesudahan umat ini. Allah berfirman ;

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻞَ ﻛَﺎﻥَ ﺯَﻫُﻮﻗًﺎ

Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS Al-Israa' : 81)

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺣَﻘًّﺎ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻧَﺼْﺮُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ

Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (QS Ar-Ruum : 47)

Kaum mukimin telah mengalami luka dari makar para pembuat makar, gangguan dari para pelaku tipu daya, hal ini demikian agar Allah menguji kaum mukminin, dan mengungkap kaum munafiqin, dan menguji ketegaran kaum muslimin. Dan bagaimanapun puncak makar dan tipu daya maka ia tergantung dengan takdir Allah, terliput oleh kehendak Allah. Dan makar/rencana yang jahat tidak lain kecuali akan kembali kepada pelakunya. Allah berfirman :

ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺤِﻴﻖُ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺊُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺄَﻫْﻠِﻪِ

Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. (QS Fathir : 43)

Sesungguhnya satu kata, satu barisan dan satu hati merupakan jalan menuju kemenangan dan kemuliaan, serta pondasi dari kejayaan. Allah berfirman :

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋُﻮﺍ ﻓَﺘَﻔْﺸَﻠُﻮﺍ ﻭَﺗَﺬْﻫَﺐَ ﺭِﻳﺤُﻜُﻢْ

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS Al-Anfaal : 46)

Dan umat Islam menggabungkan antara berikhtiyar berusaha melakukan sebab dan bertawakkal kepada Allah SWT. Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan memasrahkannya maka Allah cukup baginya, Allah akan menjaganya. Allah berfirman :

ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑَﺎﻟِﻎُ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﻗَﺪْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْﺭًﺍ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS At-Tholaq : 3)

ﻟَﺎ ﺗَﺤْﺰَﻥْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣَﻌَﻨَﺎ

"Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita". (QS At-Taubah : 40)

Sebuah kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara beliau berada di dalam goa bersama sahabatnya, dan orang-orang kafir telah mengepung mereka. Maka Allah pun menyelamatkan mereka dan menjaga mereka serta menolong mereka. Perkataan ("Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita") menumbuhkan ketenangan dan ketentraman, serta hilangnya rasa putus asa.

Jendela-jendela makar ditutup dengan ketegaran di atas kebenaran dan berpegang teguh dengan Al-Kitab dan as-Sunnah serta kembali kepada para ulama pada lokasi-lokasi fitnah, dan hendaknya perkara dikembalikan kepada pemerintah dalam urusan hukum dan keamanan.

Menghias diri dengan ketakwaan dan kesabaran akan melemahkan tipu daya mereka dan akan menghilangkan kemudhorotan. Allah berfirman

ﺫَﻟِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣُﻮﻫِﻦُ ﻛَﻴْﺪِ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ

Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir (QS Al-Anfaal : 18)

Dan sesungguhnya keamanan negeri ini –negeri dua kota suci- merupakan landasan keamanan umat Islam, negeri ini adalah jantung umat ini yang berdenyut, dan mengganggu negeri ini berarti mengganggu keamanan umat ini. Dan jasad umat ini senantiasa baik selama darah jantung masih berdenyut, dan kebaikan umat ini tersebar, dan kegiatan sosialnya tidak pernah berhenti, menjaga negeri ini dari gangguan makar para pembuat makar dan dari tipu daya para pelakunya adalah perkara yang dituntut dalam syari'at dan kewajiban agama bagi setiap muslim. Dan para penduduk negeri ini yang berakal mengerti akan hal ini dan mereka ikut berpartisipasi dengan kesadaran mereka dalam menggagalkan konspirasi orang-orang yang menanti-nanti jatuhnya negeri ini. Barangsiapa yang berusaha untuk mengganggu keamanan negeri ini maka ia telah melayani musuh-musuh agama. Dan negeri ini terjaga dengan penjagaan Allah, tegak dan tegar. Allah berfirman

ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺼْﺒِﺮُﻭﺍ ﻭَﺗَﺘَّﻘُﻮﺍ ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّﻛُﻢْ ﻛَﻴْﺪُﻫُﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ

Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. (QS Ali Imron : 120)

Penerjemah: Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Kamis, 03 November 2016

Karakter Orang Munafik

Karakter Orang Munafik

Karakter Orang Munafik

ﺍﻹﻋﺮﺍﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﺮ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻦ

"Berpaling dari nasihat dan sombong termasuk karakter orang-orang munafik."

Al Mukhtashar fii Tafsir Al Qur'an Al Karim, hal. (555)

Ustadz Didik Suyadi hafidzahullah


Senin, 31 Oktober 2016

DEMONSTRASI DAN MENCELA PEMERINTAH DI MEDIA SOSIAL BUKAN AJARAN ISLAM

Demonstrasi bukan ajaran islam

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺬِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥٍ ﻓَﻼ ﻳُﺒْﺪِﻩِ ﻋَﻼﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻴَﺨْﻠُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻭَﺇِﻻ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺪْ ﺃَﺩَّﻯ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ

"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya lalu sampaikan nasihatnya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm radhiyallahu’anhu, dishahihkan Al-Muhaddits Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096]


Beberapa Pelajaran :



  1. Pesan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di dalam hadits yang mulia ini benar-benar diamalkan oleh sebaik-baik generasi, yaitu para sahabat radhiyallahu’anhum. 

Tatkala seseorang berkata kepada Sahabat yang mulia Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma,

ﺃَﻻَ ﺗَﺪْﺧُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻓَﺘُﻜَﻠِّﻤَﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺗُﺮَﻭْﻥَ ﺃَﻧِّﻰ ﻻَ ﺃُﻛَﻠِّﻤُﻪُ ﺇِﻻَّ ﺃُﺳْﻤِﻌُﻜُﻢْ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﻠَّﻤْﺘُﻪُ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨِﻰ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻣَﺎ ﺩُﻭﻥَ ﺃَﻥْ ﺃَﻓْﺘَﺘِﺢَ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﻻَ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﺃَﻛُﻮﻥَ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﻦْ ﻓَﺘَﺤَﻪُ

“Tidakkah engkau masuk menemui ‘Utsman untuk berbicara dengannya (menasihatinya), maka ia berkata, “Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak berbicara kepadanya, kecuali aku harus memperdengarkan kepada kalian?! Sesungguhnya aku telah berbicara kepadanya ketika hanya antara aku dan dia saja, tanpa aku membuka satu perkara yang aku tidak suka untuk membukanya pertama kali.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (no. 3267) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2989), dan lafaz ini milik Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata,

ﻗﻮﻟﻪ ﻗﺪ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﻣﺎ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﺍﻓﺘﺢ ﺑﺎﺑﺎ ﺃﻱ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺷﺮﺗﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻭﺍﻷﺩﺏ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺮ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻲ ﻣﺎ ﻳﺜﻴﺮ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ

“Ucapan beliau (Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu), “Sungguh aku telah berbicara dengannya tanpa aku membuka sebuah pintu” maknanya adalah, aku telah berbicara kepadanya dalam perkara yang kalian maksudkan tersebut, akan tetapi dengan jalan maslahat dan adab secara rahasia, tanpa ada dalam ucapanku sesuatu yang dapat mengobarkan fitnah (kekacauan) atau semisalnya.” [Fathul Bari, 13/51]

Al-Imam Al-Muhallab –rahimahullah- berkata,

ﺃﺭﺍﺩﻭﺍ ﻣﻦ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﺍﻥ ﻳﻜﻠﻢ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺧﺎﺻﺘﻪ ﻭﻣﻤﻦ ﻳﺨﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻷﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻇﻬﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﻳﺢ ﻧﺒﻴﺬ ﻭﺷﻬﺮ ﺃﻣﺮﻩ ﻭﻛﺎﻥ ﺃﺧﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻷﻣﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﺳﺮﺍ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﺃﻓﺘﺢ ﺑﺎﺑﺎ ﺃﻱ ﺑﺎﺏ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻋﻼﻧﻴﺔ ﺧﺸﻴﺔ ﺍﻥ ﺗﻔﺘﺮﻕ ﺍﻟﻜﻠﻤﺔ

“Mereka menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin ‘Uqbah, karena muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan, sedang ia adalah saudara ‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya. Maka Usamah berkata, “Sungguh aku telah berbicara kepadanya secara rahasia tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah pintu mengingkari pemimpin secara terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya persatuan.” [Fathul Bari, 13/52]

  • 2. Sebaliknya, kaum Khawarij menyelisihi cara menasihati penguasa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan diamalkan para sahabat ini. 

Tabi’in yang Mulia Sa’id bin Jumhan –rahimahullah- berkata,

ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦَ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﻭْﻓَﻰ ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﺤْﺠُﻮﺏُ ﺍﻟْﺒَﺼَﺮِ ، ﻓَﺴَﻠَّﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ، ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ : ﻣَﻦْ ﺃَﻧْﺖَ ؟ ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﺃَﻧَﺎ ﺳَﻌِﻴﺪُ ﺑْﻦُ ﺟُﻤْﻬَﺎﻥَ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻓَﻌَﻞَ ﻭَﺍﻟِﺪُﻙَ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ : ﻗَﺘَﻠَﺘْﻪُ ﺍﻷَﺯَﺍﺭِﻗَﺔُ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻷَﺯَﺍﺭِﻗَﺔَ ، ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻷَﺯَﺍﺭِﻗَﺔَ ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻛِﻼَﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ : ﺍﻷَﺯَﺍﺭِﻗَﺔُ ﻭَﺣْﺪَﻫُﻢْ ﺃَﻡِ ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝُ ﻛُﻠُّﻬَﺎ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺑَﻞِ ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝُ ﻛُﻠُّﻬَﺎ . ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ : ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥَ ﻳَﻈْﻠِﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ، ﻭَﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺑِﻬِﻢْ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﺘَﻨَﺎﻭَﻝَ ﻳَﺪِﻱ ﻓَﻐَﻤَﺰَﻫَﺎ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻏَﻤْﺰَﺓً ﺷَﺪِﻳﺪَﺓً ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻳْﺤَﻚَ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺟُﻤْﻬَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺑِﺎﻟﺴَّﻮَﺍﺩِ ﺍﻷَﻋْﻈَﻢِ ، ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺑِﺎﻟﺴَّﻮَﺍﺩِ ﺍﻷَﻋْﻈَﻢِ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﻣِﻨْﻚَ ، ﻓَﺄْﺗِﻪِ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻪِ ، ﻓَﺄَﺧْﺒِﺮْﻩُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻢُ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﻚَ ، ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﺪَﻋْﻪُ ، ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﺴْﺖَ ﺑِﺄَﻋْﻠَﻢَ ﻣِﻨْﻪُ

“Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”.

Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat Al-Azariqoh. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami bahwa mereka dalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semana-mena terhadap mereka”.

Beliau pun menarik tanganku dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat darimu. Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 6435) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 905]


  • 3) Menasihati penguasa secara terang-terangan dengan aksi demonstrasi atau melalui media massa, menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum. Asy-Syaikhul ‘Allaamah Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata,

ﻓﺎﻟﻨﺼﺢ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻷﺳﻠﻮﺏ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻤﻔﻴﺪﺓ ﻭﺍﻟﻤﺸﺎﻓﻬﺔ ﺍﻟﻤﻔﻴﺪﺓ , ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﺍﻟﺘﺸﻬﻴﺮ ﺑﻌﻴﻮﺏ ﺍﻟﻨﺎﺱ , ﻭﻻ ﺑﺎﻧﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺮ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ , ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﺴﻌﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﺸﺮ ﻭﻳﺜﺒﺖ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﺑﺎﻟﻄﺮﻕ ﺍﻟﺤﻜﻴﻤﺔ ﻭﺑﺎﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺮﺿﺎﻫﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ

“Nasihat hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia, dan tidak pula mengeritik negara di mimbar-mimbar dan yang semisalnya. Akan tetapi nasihat itu engkau curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan mengokohkan kebaikan dengan cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang diridhoi Allah ‘azza wa jalla.” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/306]


  • 4) Melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap kebijakan pemerintah secara terang-terangan bukan manhaj Salaf dan hanya mendatangkan kemudaratan, bukan kemaslahatan. 

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata,

ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺘﺸﻬﻴﺮ ﺑﻌﻴﻮﺏ ﺍﻟﻮﻻﺓ , ﻭﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺮ ; ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻮﺿﻰ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ , ﻭﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺨﻮﺽ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻀﺮ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻊ , ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﺍﻟﻤﺘﺒﻌﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺴﻠﻒ : ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ , ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﺇﻟﻴﻪ , ﺃﻭ ﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﺑﺎﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺘﺼﻠﻮﻥ ﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻮﺟﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ

“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/210]


  • 5. Solusi menghadapi pemerintah yang zalim, disamping memberi nasihat, bahkan ketika nasihat juga tidak bermanfaat, atau pun tidak ada akses untuk menyampaikan nasihat, maka hendaklah bersabar dan berdoa, tidak dibenarkan untuk melakukan perlawanan dan menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat dalam menasihati.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻦْ ﺃَﻣِﻴﺮِﻩ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻳَﻜْﺮَﻫُﻪُ ﻓَﻠْﻴَﺼْﺒِﺮْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻓَﺎﺭَﻕَ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﻓَﻤَﺎﺕَ ﻓَﻤِﻴﺘَﺔٌ ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔٌ

“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7054) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1849) dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]

Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﺳَﺘَﺮَﻭْﻥَ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃَﺛَﺮَﺓ ﻭَﺃُﻣُﻮﺭًﺍ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻧَﻬَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻓَﻤَﺎ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺩُّﻭﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺣَﻘَّﻬُﻢْ ﻭَﺳَﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺣَﻘَّﻜُﻢْ

“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7052) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1843) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

DUA MACAM PEMBERONTAKAN

Keluar, memisahkan diri atau memberontak dan menentang penguasa muslim adalah perangai Jahiliyah yang diadopsi kaum Khawarij, diharamkan dalam Islam, dan bentuknya ada dua:

  • Pertama: Dengan senjata.
  • Kedua: Dengan kata-kata.

Dan yang pertama tidak mungkin terjadi tanpa yang kedua, karena itulah demonstrasi diharamkan dalam Islam, demikian pula mencela para penguasa di mimbar terbuka atau di media massa dilarang dalam Islam.

Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil As-Sunnah dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]

Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

ﺑﻞ ﺍﻟﻌﺠﺐ ﺃﻧﻪ ﻭُﺟّﻪ ﺍﻟﻄﻌﻦ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻗﻴﻞ ﻟـﻪ : ﺍﻋﺪﻝ، ﻭﻗﻴﻞ ﻟـﻪ : ﻫﺬﻩ ﻗﺴﻤﺔ ﻣﺎ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻬﺎ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﻠﻪ . ﻭﻫﺬﺍ ﺃﻛﺒﺮ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﻭﺍﻟﻜﻼﻡ، ﻳﻌﻨﻲ : ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻟﻜﻨﻪ ﺃﻧﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﻧﺤﻦ ﻧﻌﻠﻢ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﻃﺒﻴﻌﺔ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﺇﻻ ﻭﻗﺪ ﺳﺒﻘﻪ ﺧﺮﻭﺝ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ . ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬﻭﺍ ﺳﻴﻮﻓﻬﻢ ﻳﺤﺎﺭﺑﻮﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﺪﻭﻥ ﺷﻲﺀ ﻳﺜﻴﺮﻫﻢ، ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻨـﺎﻙ ﺷﻲﺀ ﻳﺜـﻴﺮﻫﻢ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻜﻼﻡ . ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺑﺎﻟﻜﻼﻡ ﺧﺮﻭﺟﺎً ﺣﻘﻴﻘﺔ، ﺩﻟﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ

“Sangat mengherankan tatkala celaan (terhadap pemerintah) itu diarahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul Khuwaisiroh). Dikatakan kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam, “Berlaku adillah!” Juga dikatakan, “Pembagianmu ini tidak menginginkan wajah Allah!”

Maka ini adalah sebesar-besarnya dalil yang menunjukkan bahwa memberontak kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa jadi pula dengan ucapan dan kata-kata. Maksudnya, orang ini tidaklah memerangi Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam- dengan pedang, akan tetapi ia mengingkari beliau (dengan ucapan di depan umum).

Kita tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan ucapan. Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi mereka, yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil As-Sunnah dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]

BEBERAPA DAMPAK BURUK DEMONSTRASI


  1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat dalam demo tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan semakin memprovokasi massa dan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat Fathul Bari, 13/51-52)
  2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan mengandung penentangan terhadapnya (lihat Umdatul Qaari, 22/33, Al-Mufhim, 6/619)
  3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat Umdatul Qaari, 22/33)
  4. Mengakibatkan masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal yang baik (lihat Haqqur Ro’i, hal. 27)
  5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
  6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat Fathul Bari, 13/52)
  7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada sahabat yang mulia Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu akibat demonstrasi kaum khawarij (lihat Syarah Muslim, 18/118)
  8. Menghinakan sulthan Allah, yang telah Allah takdirkan sebagai penguasa muslim (lihat As-Sailul Jarror, 4/556)
  9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat Madarikun Nazhor, hal.211)
  10. Mengganggu ketertiban umum
  11. Menimbulkan kemacetan di jalan-jalan
  12. Merusak stabilitas ekonomi
  13. Tidak jarang adanya ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita) ketika demonstrasi, bahkan pada demo yang mereka sebut Islami sekali pun
  14. Menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat
  15. Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij) dan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.


ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ

Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah

Semoga bermanfaat. Mohon ta’awun menyebarkan dakwah tauhid dan sunnah ini. Semoga menjadi sebab hidayah dan pemberat timbangan kebaikan kita di Hari Kiamat, insya Allah ta’ala.
Jazaakumullaahu khayron wa baaroka fiykum.

Sumber:  taawundakwah.com

Kamis, 20 Oktober 2016

9 Watak Orang Yahudi yang Mesti Kita Tahu


Watak Orang Yahudi yang Mesti Kita Tahu

Saat terjadinya konflik antara Yahudi (bukan Israel) dengan saudara kami sesama muslim di Palestina barulah kami berani menghadirkan pembahasan ini ke tengah-tengah pembaca.

Lihatlah korban ratusan jiwa berjatuhan diakibatkan ulah mereka dan setiap harinya korban masih terus bertambah.

Ingatlah saudaraku, kejadian yang terjadi saat ini menandakan bahwa mereka kaum Yahudi tidaklah pernah ridho dengan kita umat Islam sampai kita mau melepaskan agama kita.

Inilah watak jelek mereka yang pertama.


Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut.

 وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِير

ٍOrang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah: 120)

Perhatikanlah saudaraku. Janganlah engkau terpengaruh dengan kaum sekuler yang keliru dalam memahami ayat ini. Kaum sekuler berpendapat bahwa ayat ini ditujukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ketika beliau masih hidup. Yahudi dan Nashrani pada zaman ini berbeda dengan yang dulu. Benarkah demikian?

Ini sungguh kekeliruan yang sangat besar yang berasal dari orang yang ingin mengaburkan ajaran Islam. Ketahuilah bahwa ayat ini memang ditujukan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi pembicaraan ini juga mencakup umatnya karena yang menjadi hukum adalah keumuman dan bukan hanya orang yang diajak bicara. Itulah yang dipahami oleh ulama Ahlus Sunnah (semacam Syaikh As Sa’di dalam tafsirnya), berbeda dengan mereka yang sudah diracuni dengan pemikiran orang barat yang kafir.

Berdasarkan ayat di atas sangat jelas sekali bahwa Yahudi dan Nashrani tidak akan ridho kepada kita selamanya. Inilah watak orang Yahudi dan Nashrani sampai hari kiamat. Dari watak jelek mereka yang pertama ini, sekarang kita akan melihat watak mereka yang lainnya.

Watak Yahudi Kedua:

Orang Yahudi selalu menyembunyikan kebenaran 


Mereka kaum Yahudi sebenarnya tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai penutup para rasul di akhir zaman ini, tetapi mereka selalu menyembunyikan kebenaran ini.
Allah Ta’ala berfirman,

 الَّذِينَ آَتَيْنَاهُم
ُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 146)

Al Qurtubhi mengatakan: Diriwayatkan bahwasanya Umar berkata pada Abdullah bin Salam, “Apakah engkau (sebelum masuk Islam) mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau mengenal anak-anakmu sendiri? Abdullah pun menjawab, “Ya, bahkan lebih dari itu. ” Ibnu Katsir mengatakan bahwa kadang pula maksud ‘seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri’ adalah mereka mengenal sekumpulan anak-anak manusia lalu mereka tidak merasa ragu sedikit pun untuk mengenal anak mereka sendiri jika mereka melihatnya di antara sekumpulan anak tadi.

Walaupun mereka sudah mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sangat yakinnya, namun Allah katakan, “sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran”. Maksudnya adalah mereka menyembunyikan sifat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada kitab mereka pada manusia padahal mereka mengetahuinya. (Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, pada tafsir surat Al Baqarah ayat 146).

Watak Yahudi Ketiga:

Tokoh agama Yahudi sangat sulit menerima kebenaran Islam


Dalam shohih Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَوْ تَابَعَنِى عَشْرَةٌ مِنَ الْيَهُودِ لَمْ يَبْقَ عَلَى ظَهْرِهَا يَهُودِىٌّ إِلاَّ أَسْلَمَ

“Seandainya sepuluh (pemuka agama) Yahudi mengikuti agamaku, maka sungguh tidak akan tersisa lagi orang Yahudi di muka bumi ini kecuali dalam keadaan Islam.” (HR. Muslim no. 2793)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَوْ آمَنَ بِى عَشْرَةٌ مِنْ أَحْبَارِ الْيَهُودِ لآمَنَ بِى كُلُّ يَهُودِىٍّ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ

 “Seandainya sepuluh pemuka agama Yahudi beriman kepadaku, sungguh semua orang Yahudi di muka bumi ini akan turut beriman padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi, yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya)

Watak Yahudi Keempat:

Orang Yahudi menyembah pemuka agamanya sendiri


Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,

 اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Rabb yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At Taubah : 31)

Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin ‘Abbas dan selainnya mengatakan mengenai tafsir
‘Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah’, maksudnya adalah mereka mengikuti pemuka agama mereka dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Itulah yang disebut dengan menyembah mereka sebagaimana dimaksudkan dalam hadits dari ‘Adi bin Hatim.
 (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat At Taubah ayat 31)

Watak Yahudi Kelima:

Orang Yahudi pernah menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Dalam shohih Muslim pada Bab Sihir, ‘Aisyah berkata,

 سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهُودِىٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِى زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَم

ِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Lubaid bin Al A’shom.” (HR. Muslim no. 2189)

Watak Yahudi Keenam:

Wanita Yahudi pernah meracuni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

 أَنَّ امْرَأَةً يَهُودِيَّةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَجِىءَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَهَا عَنْ ذَلِكَ فَقَالَتْ أَرَدْتُ لأَقْتُلَكَ. قَالَ « مَا كَانَ اللَّهُ لِيُسَلِّطَكِ عَلَى ذَاكِ ». قَالَ أَوْ قَالَ « عَلَىَّ ». قَالَ قَالُوا أَلاَ نَقْتُلُهَا قَالَ « لاَ ». قَالَ فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِى لَهَوَاتِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

 “Sesungguhnya seorang wanita Yahudi pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang sudah diracuni. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan daging tersebut. Lalu wanita tadi dipanggil untuk menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang perbuatan wanita tersebut tadi. Wanita tersebut pun berkata, “Aku ingin membunuhmu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah tidaklah memberimu kekuatan untuk maksudmu tadi.” (Periwayat hadits ini ada yang mengatakan), “(Allah tidaklah memberimu kekuatan) untuk mencelakakanku.” Lantas para sahabat berkata, “Apakah sebaiknya dia dibunuh saja?” (HR. Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)

Watak Yahudi Ketujuh:

Orang Yahudi berusaha memurtadkan kaum muslimin


Allah Ta’ala berfirman,

 وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “

"Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya . Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 109)

Watak Yahudi Kedelapan:

Orang Yahudi berusaha menyesatkan kaum muslimin.


Allah Ta’ala berfirman,

 وَدَّتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

“Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.” (QS. Ali Imran: 69)

Watak Yahudi Kesembilan:

Mendoakan celaka atau mati bila bertemu dengan kaum muslimin


Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمُ الْيَهُودُ فَإِنَّمَا يَقُولُ أَحَدُهُمُ السَّامُ عَلَيْكَ . فَقُلْ وَعَلَيْكَ

“Jika seorang Yahudi memberi salam padamu dengan mengatakan ‘Assaamu ‘alaikum’ (semoga kamu mati), maka jawablah ‘wa‘alaika’ (semoga do’a tadi kembali padamu).” (HR. Bukhari no. 6257)

Setelah kita mengetahui sebagian watak jelek Yahudi, masihkan ada rasa simpati pada perlakuan dan tindak tanduk mereka. Sudah nampak jelas kejahatan mereka orang Yahudi, bukan hanya dengki dan menyembunyikan kebenaran yang mereka perbuat bahkan mereka menyakiti dan ingin membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita kaum muslimin yang sudah lama ditinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masih berharap kebaikan mereka? Inilah sunatullah (ketetapan Allah) yang terjadi saat ini di negeri Palestina. Mereka kaum Yahudi memborbardir umat Islam tanpa henti. Tunggu saatnya pembalasan kami.

Ya Allah tolonglah kami kaum muslimin terhadap musuh-musuh kami. Kuatkanlah iman dan aqidah kami, sehingga kami bisa betul-betul kokoh menghadapi mereka.

Marilah kita bantu saudara kita di Palestina baik dengan harta maupun dengan do’a.

Yang selalu mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal, ST Saat sore hari, di Sleman, 4 Muharram 1430 H.

Sumber: Rumaisyo.com

SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU

SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Sesungguhnya agama Islam telah sempurna, nyata, terang lagi jelas, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa. Dan Islam, adalah agama yang berlandaskan wahyu Allah Ta’ala, bukan berlandaskan akal fikiran maupun perasaan manusia. Barang siapa mengikuti wahyu, maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus. 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Maka berpegang teguhlah kepada yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus”. [az-Zukhruf/43:43].

Wahyu Allah merupakan kebenaran mutlak, tidak ada kedustaan dan kesalahan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan akal dan fikiran manusia yang tidak ada jaminan kebenaran mutlak, bahkan fikiran seseorang itu sering berubah-ubah. Demikian juga fikiran manusia yang satu dengan lainnya, juga sering berbeda. Oleh karena itulah manusia itu sering berselisih.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kebenaran mutlak pada wahyu-Nya:

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Kebatilan tidak datang kepadanya (Al-Qur`ân) baik dari depan maupun dari belakangnya. (Al-Qur`ân) diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. [Fushshilat/41:42].

Dengan tegas Allah menyatakan, bahwa di dalam Kitab-Nya tidak terkandung kebatilan, baik saat diturunkan maupun sesudahnya. Kebatilan dalam arti kedustaan ataupun kesia-siaan.

MAKNA AS-SUNNAH [1]


As-Sunnah, secara bahasa artinya ialah jalan atau ajaran, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah, as-Sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut.


1. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ushûl Fiqh.


Al-Aamidi rahimahullah berkata: “Dalil-dalil syari’at yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang tidak dibaca, bukan merupakan mu’jizat, dan tidak termasuk mu’jizat [2]. Dan Sunnah ini mencakup perkataan-perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan, dan taqrîr-taqrîr (ketetapan-ketetapan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[3]

Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, “sumber aqidah dan hukum Islam ialah Al-Kitab dan as-Sunnah”, “kita wajib berpegang kepada Al-Kitab dan as-Sunnah”, dan semacamnya.


2. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.


Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrîr (ketetapan)beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi’tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi`tsah. Sehingga arti as-Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.

3. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Ahli Fiqih.


Yaitu perkara yang pelakunya terpuji dan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya tidak tercela dan tidak mendapatkan dosa. Istilah Sunnah menurut ahli fiqih ini semakna dengan mustahab, mandûb, tathawwu’, nafilah, muragh-ghab fîhi, dan semacamnya.

Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, “hukum shalat rawaatib adalah Sunnah, bukan wajib”, “pendapat yang râjih (kuat), hukum shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki adalah wajib ‘ain, bukan sunnah”, dan semacamnya.


4. Makna Sunnah Menurut Istilah Ulama Aqidah Atau Ulama Salaf.


Yaitu bermakna jalan dan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diikuti oleh para sahabatnya. Sunnah di sini kebalikan dari bid’ah. Oleh karena itu, banyak ulama pada zaman dahulu menulis kitab-kitab aqidah, dan mereka menamakannya dengan as-Sunnah. Misalnya, “as-Sunnah” karya ‘Abdullah bin Imam Ahmad, “as-Sunnah” karya al-Khallâl, dan lain-lain.

Adapun makna as-Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu as-Sunnah menurut istilah ahli ushûl fiqh.

SUNNAH, JUGA MERUPAKAN WAHYU


Allah azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti wahyu yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui perantaraan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salalm. Allah Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. [al-A’râf/7:3].

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selainnya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.[4]

Allah juga telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya al-Kitab (Al-Qur`ân). Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa al-Kitab (Al-Qur`ân) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. [al-Baqarah/2:231].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu”, yaitu Dia mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, “dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah”, yaitu As-Sunnah, “Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu”, yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram. [5]

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“Dan Allah telah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. [an-Nisâ`/4:113].

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata: “Allah menyebutkan al-Kitab, yaitu Al-Qur`ân, dan menyebutkan al-Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur`ân berkata,’Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[8]

Bukti nyata bahwa maksud dari al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah as-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sementara Allah Ta’âla berfirman:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui”. [al-Ahzâb/33:34].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan as-Sunnah”.[7]

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi al-Kitab dan yang semisalnya, yaitu as-Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama wajib diikuti. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya. Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata: ‘Kamu wajib berpegang dengan Al-Qur`ân ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia! Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!’. Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid, kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barang siapa bertamu kepada suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya”[9].

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ

“Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: ‘Di antara kami dan kamu ada kitab Allah Azza wa Jalla . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya’. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah n seperti apa yang diharamkan oleh Allah”. [HRIbnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni].

Penulis kitab ‘Aunul-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud mengatakan: “(Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ‘aku diberi al-Kitab’, yaitu Al-Qur`ân, ‘dan (diberi) yang semisalnya’, yaitu wahyu batin yang tidak dibaca, atau penjelasan wahyu zhahir, dengan menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambah, mengurangi, atau hukum-hukum, nasihat-nasihat, atau perumpamaan-perumpamaan, yang menyerupai Al-Qur`ân dalam masalah kewajiban yang diamalkan, atau dalam hal kedudukannya”.

Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini memungkinkan dua makna. 
  • Pertama, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu batin yang tidak dibaca, seperti diberi wahyu zhahir yang dibaca. 
  • Kedua, maknanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab yang merupakan wahyu yang dibaca, dan diberi penjelasan semisalnya. 
Yaitu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diizinkan menjelaskan yang ada di dalam al-Kitab, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambahkan, sehingga beliau mensyari’atkan sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Kitab. Maka jadilah hal itu, di dalam kewajiban berhukum dan keharusan mengamalkannya seperti wahyu yang zhahir yang dibaca”.[10]

Dengan demikian, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berasal dari Allah Ta’ala sebagaimanan Al-Qur`ân. Hassân bin ‘Athiyah rahimahullah berkata:

كاَنَ جِبْرِيْلُ يَنْزِلُ عَلَى النَّبِيِّ بِالسُّنَّةِ كَمَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ بِالْقُرْآنِ

“Dahulu, Malaikat Jibrîl turun kepada Nabi n dengan membawa as-Sunnah, sebagaimana ia turun membawa Al-Qur`ân”.[11]

KEDUDUKAN AS-SUNNAH SAMA DENGAN AL-QUR`ÂN DALAM HUJJAH


Setelah mengetahui bahwasanya wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua, selain Al-Qur`ân atau al-Kitab, yang merupakan wahyu zhahir yang dibaca, juga as-Sunnah yang merupakan wahyu batin yang dibaca, sehingga kedudukan keduanya ini satu derajat dalam hal hujjah dan sumber aqidah dan hukum, karena keduanya sama sebagai wahyu Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, termasuk perkara yang pantas untuk diperingatkan, yakni pendapat sebagian ahli ushuul fiqih yang menyatakan bahwa kedudukan as-Sunnah berada di bawah Al-Qur`ân dalam pengambilan sumber hukum. Sehingga pendapat ini memunculkan prinsip yang tidak benar pada sebagian umat Islam; misalnya hadits yang shahîh, jika bertentangan dengan Al-Qur`ân maka hadits itu berarti hadits lemah dan ditolak. Kemudian mereka menggunakan akal fikirannya sendiri, atau bahkan kebodohannya untuk menghukumi sesuatu hadits bertentangan dengan ayat Al-Qur`ân. Dari sinilah, kemudian timbul berbagai penyimpangan.

Oleh karena itu, kami ingatkan bahwasanya as-Sunnah juga merupakan wahyu Allah, sehingga tidak akan bertentangan dengan Al-Qur`ân. Jika ada hadits yang telah memenuhi syarat shahîh, tetapi menurut akal, seolah-olah hadits itu bertentangan dengan Al-Qur`ân, maka hendaklah kita mendahulukan naql (wahyu) daripada akal. Demikian ini merupakan prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah.

Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasanya madzhab (jalan) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (menyetakan), akal tidaklah mewajibkan sesuatu kepada seorangpun, tidak menghilangkan sesuatu darinya, tidak ada peran bai akal dalam menghalalkan dan mengharamkan, menganggap baik dan menganggap buruk. Seandainya tidak ada penjelasan dari agama, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib atas diri seseorang, dan mereka tidak terkena pahala atau siksa”.

Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah juga berkata: “Ahlus Sunnah mengatakan, prinsip dalam beragama adalah ittiba` (mengikuti dalil wahyu), sedangkan akal mengikutinya. Seandainya prinsip agama itu berlandaskan akal, maka sesungguhnya manusia tidak membutuhkan wahyu dan nabi-nabi. Demikian juga makna larangan dan perintah (dari Allah lewat perantaraan para nabi) menjadi sia-sia. Dan setiap orang akan berbicara sesuai yang ia kehendaki”. [13]

Syaikh ‘Abdul-Ghani ‘Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: “As-Sunnah dengan al-Kitab berada pada satu derajat. Dari kedua sumber ini diambillah sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) dalam menentuankan hukum-hukum syari’at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: ‘Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa al-Kitab (Al-Qur`ân) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah; dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu’jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah, dilihat pada sisi ini, keutamaannya berada di bawah Al-Qur`ân.

Syaikh ‘Abdul-Ghani ‘Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: “As-Sunnah dengan Al-Kitab berada pada satu derajat dari sisi keduanya digunakan sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) terhadap hukum-hukum syari’at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa Al-Kitab (Al-Qur’an) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah, dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu’jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah di bawah Al-Qur’an di dalam keutamaan pada sisi-sisi ini.

Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan as-Sunnah di bawah Al-Qur`ân dalam penggunaan sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga seandainya terjadi pertentangan, maka As-Sunnah disia-siakan, dan hanya Al-Qur`ân yang diamalkan.

Sesungguhnya kedudukan Sunnah itu sederajat dengan al-Kitab (Al-Qur`ân) dalam pengambilannya sebagai hujjah. Dijadikannya al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu dari Allah…, dan dalam masalah ini, as-Sunnah sama dengan Al-Qur`ân, karena as-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur`ân. Sehingga wajib menyatakan, dalam hal i’tibar, as-Sunnah tidak di berada belakang Al-Qur`ân”[14]

Oleh karena itu, Al-Qur`ân dan as-Sunnah merupakan dua perkara yang saling menyatu, tidak terpisah, dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya” [15].

KESIMPULAN


Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa as-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur`ân. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

MARÂJI’:

1. Al-Qur’ân Terjemah Departemen Agama.
2. At-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
3. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, karya Syaikh ‘Abdus-Salâm bin Barjas bin Nâshir Âlu ‘Abdul-Karîm .
4. I’lamul-Muwaqqi’in, karya Imam Ibnul-Qayyim, Penerbit Darul-Hadits, Kairo, Tahun 1422H/2002H.
5. Manhaj Imam Syafi’i t fî Its-bâtil ‘Aqîdah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb al-‘Aqîl, Penerbit Adh-waus-Salaf.
6. Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, karya Dr. Muhammad bin Mathar Az-Zahrâni, Penerbit Dârul- Khudhairi, Cetakan Kedua, Tahun 1419 H / 1998 M.
7. Tafsîr Al-Qur`ânil-‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr.
8. Kitab-Kitab Hadits, dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Dharûrat Ihtimâm bis-Sunnah Nabawiyyah, hlm. 29-34.
[2]. Yaitu bukan Al-Qur`ân, karena Al-Qur`ân dibaca pada waktu shalat dan merupakan mu’jizat, di mana Allah menantang orang yang meragukannya untuk membuat satu surat semisal Al-Qur’ân. Namun ini tidak berarti di dalam As-Sunnah tidak ada perkara luar biasa yang membuktikan kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah, Pen.
[3]. Taqrîr, artinya pengakuan. Maksudnya perbuatan atau perkataan sahabat yang tidak diingkari oleh Nabi n .
[4]. I’lâmul-Muwaqqi’in, 2/46.
Tafsîr Al-Qur`ânul ‘Azhîm, surat al-Baqarah/2 ayat 231.
[5]. Tafsîr Al-Qur`ânil ‘Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[6]. Ar-Risâlah, hlm. 32-33.
[7]. Tafsîr Al-Qur`ânil ‘Azhîm, surat al-Ahzaab/33 ayat 34.
[8]. Orang kafir yang ada perjanjian keamanan dengan kaum muslimin.
[9]. HR Abu Dawud, no. 4604. Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[10]. ‘Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Lihat penjelasan hadits no.4604.
[110] Riwayat ad-Dârimi, no. 549. Al-Khathîb dalam al-Kifâyah, hlm. 48, dan lain-lain. Dinukil dari Tadwîn as-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 22-23.
[12]. Yang dimaksudkan ialah baik dan buruk, yang karenanya mendapatkan pahala atau siksa, Pen.
[13]. Al-Hujjah fî Bayânil-Mahajjah, Juz. 1, hlm. 315. Dinukil dari Manhaj Imam Syafi’t t fî Its-bâtil- ‘Aqîdah, Juz. 1, hlm. 57-58.
[14]. Sebuah pembahasan dalam kitab Hujjiyyatus-Sunnah, hlm. 485-494. Dinukil dari Dharuuraat Ihtimaam bis-Sunnah Nabawwiyah, hlm. 24.
[15]. Hadits Shahiih li ghairihi. HR Maalik, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam at-Ta’zhim wal-Minnah fil-Intisharis-Sunnah, hlm. 12-13.

Sumber: almanhaj.or.id